Di kawasan Pasar Bambu
Kuning, sedikitnya ada 30-an toko yang menjual berbagai jenis tapis dan produk
turunnya seperti kopiah, tas, dompet, hiasan dinding hingga gantungan kunci.
Harga yang ditawarkan pun relatif lebih murah dibanding harus ke butik atau
gallery khusus tapis yang bisa dua hingga tiga kali lipat lebih mahal. Para
penjual aneka jenis tapis, tapi lebih banyak jenis Pucuk Rebung, Mata Kibau dan
Tenggelam di Laok Muncul di Gunung, itu menjajakan dengan harga bervariasi.
Harga
selembar kain tapis di daerah itu bervariasi antara Rp 750 ribu hingga Rp 15
juta. Harga tergantung tingkat kerumitan dan jenis benang emas yang digunakan.
Semakin rumit penyulaman dan banyak menggunakan benang emas, harga akan semakin
tinggi. Sementara harga souvenir seperti dompet dijual bervariasi antara Rp 40
ribu – Rp 60 ribu, kopiah tapis Rp 35 ribu – Rp 175 ribu, dan gantungan kunci
Rp 35 ribu – Rp 50 ribu.
Geliat
bisnis aneka kerajinan Tapis itu dimulai pada awal tahun 1980-an. Di era itu,
baru satu toko yang dimiliki Yuzbir, 75 tahun, menjual dan membeli tapis.
Yuzbir hanya menjual tapis koleksi milik warga. Semakin tua dan terawat,
pemilik Toko Ruwa Jurai itu bisa menghargai selembar tapis sangat mahal. “Tidak
ada patokan harga. Dia minta berapa, saya menawar. Saat itu belum ada yang
memproduksi kain tapis yang kemudian dijual bebas. Tapis masih dibuat untuk
dipakai sendiri saat pernikahan,” kata Zulkifli Yuzbir, anak Yuzbir yang kini
meneruskan usaha orang tuanya itu.
Pria
kelahiran Padang itu mengaku kain tapis masih menjadi pemain utama bisnis
kerajinan di Lampung. Kontribusi terhadap toko kerajinan dan batik khas Lampung
bisa mencapai 30 persen dari item yang dijual. “Jumlah itu luar biasa mengingat
kain tapis berbeda dengan kain songket yang bisa dipakai siapa saja. Kain tapis
itu dipakai oleh kalangan dan event terbatas di masyarakat Lampung. Kuncinya
pada perkembangan inovasi kain tapis itu sendiri,” ujarnya.
Peluang
bisnis itu agaknya ditangkap oleh Aisyah Yakub, warga Natar Induk, Kecamatan
Natar, Lampung Selatan. Dia membangun pusat kerajinan tapis dengan
mempekerjakan puluhan orang. Bisnisnya sempat melambung seiring masyarakat
Lampung yang mulai kehilangan koleksi kain tapis karena telah dijual ke
kolektor. “Usahanya lalu redup karena tidak mendapat promosi dan bantuan
pemerintah. Para pengrajin beralih profesi yang lebih cepat mendatangkan uang,”
kata Nasrudin, salah seorang pengrajin di Desa Natar Induk, Kecamatan Natar,
Lampung Selatan.
Sejak
awal 2000-an, bengkel tapis yang berada di tepi Jalan Lintas Sumatera itu
berhenti beroperasi. Para pengrajin dirumahkan. Suara 40-an alat tenun
tradisional yang menghentak-hentak kini tak terdengar lagi. Bisnis Tapis
benar-benar suram. “Penyebabnya, cara pandang para pengrajin. Kebutuhan hidup
dan harga bahan baku tapis seperti benang emas dan bahan dasar kain tenun
melonjak seiring melejitnya kurs Dolar Amerika. Semua bahan baku diimpor dari
India,” kata Nasrudin.
Harga
benang emas berada pada kisaran Rp 125 ribu – Rp 150 ribu per gulungnya.
Sementara harga selembar kain tenun untuk bahan dasar tapis melambung hingga Rp
90 ribu dari Rp 50 ribu sebelumnya. Padahal untuk membuat selembar kain tapis
dibutuhkan dua hingga tiga gulung benang emas. “Di sisi lain, para pengrajin
mematok upah cukup tinggi. Mereka minta per lembarnya Rp 800 ribu. Itu wajar
karena selembar bisa dikerjakan selama dua hingga tiga bulan,” kata Raswan,
salah seorang desainer kain tapis terkemuka di Lampung.
Raswan,
48 tahun, merupakan peneliti dan desainer tapis yang mendobrak kebekuan bisnis
tapis. Dia menciptakan banyak motif yang lama mati dan sulit untuk diproduksi
kembali. Misalnya, dia kembali mereproduksi kain Tapis Inuh dan Cucuk Andak,
yang merupakan jenis kain tapis tertua di Lamung. Kedua jenis tapis itu nyaris
punah karena tingkat kesulitan penyulaman yang begitu tinggi.
Untuk
membuat tapis yang dikenal di masyarakat Lampung Pesisir, pengrajin harus
menyulam kain dengan tanpa bantuan benang lain. Benang emas ditusuk langsung ke
kain sehingga resiko benang putus dan keluar dari pola menjadi tantangan
tersendiri. “Jarang sekali kedua jenis Tapis itu dikerjakan sangat rapih karena
membutuhkan ketelitian cukup tinggi. Masyarakat kita dulu mampu melakukannya.
Itu luar biasa,” kata pria bergelar adat Pangiran Setia.
Tapis,
kata Raswan, bagi masyarakat Lampung sangat kental dengan filosofi hidup dan
keyakinan. Diperkirakan Tapis sudah diproduksi masyarakat Lampung sejak Abad
ke-2 Sebelum Masehi. Para gadis atau Muli Lampung, dulu menyulam selembar kain
tapis bisa membutuhkan waktu empat tahun. “Biasanya dimulai saat berusia 12
tahun. Selembar kain yang diciptakannya itulah yang akan ia kenakan saat
menikah kelak,” katanya.
Meski
melewati berbagai jaman mulai dari Animisme dan Dinamisme, era Hindu dan Budha
hingga budaya Islam, motif tapis tidak banyak berubah. Di massa pra sejarah dan
era Hindu dan Budha, Tapis lebih banyak digunakan untuk upacara persembahan.
“Sementara pada era Islam, fungsinya berubah menjadi pelengkap upacara adat.
Sehingga jenis tapis yang dikenakan oleh kaum perempuan saat pesta adat
menentukan tingkat sosial seseorang di tengah komunitasnya,” ujarnya.
Motif
Tapis mempunyai dua kutub utama dengan perbedaan yang mencolok seperti dua
kelompok masyarakat di Lampung, Saibatin (Lampung Pesisir, Peminggir) dan
Pepadun (pedalaman). Kedua klan itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Khua
Jurai (dua keturunan). Orang Lampung Saibatin lebih menyukai motive yang
berhubungan dengan laut seperti kapal Nabi Nuh (Tapis Inuh), jung, kepiting,
cumi dan ikan karena hidup dan bersahabat dengan laut. Sementara masyarakat
Pepadun yang berada di pedalaman lebih menyukai kehidupan naga (Tapis
Gala Naga), gajah (Tapis Gajah Mekhem) dan sebaginya.
Diperkirakan
ada sekitar 300-an motif tapis yang berkembang di tengah masyarakat Lampung di
massa lalu. Saat ini, para pengrajin baru mampu mereproduksi tidak lebih dari
50 motif dan jenis tapis. “Ketelatenan, kesabaran dan jiwa berkesenian yang
tingga membuat nenek moyang kami mampu menciptakan karya seni yang
tinggi. Mereka rela menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk
selembar kain tapis,” katanya.
Meredupnya
bisnis tapis, kata Raswan, lebih disebabkan oleh sumber daya manusia dan
pandangan soal bisnis. Banyak pengrajin yang beralih ke profesi lain karena
sangat sulit menggantungkan hidup dengan hanya menjadi penyulam tapis. “Di
massa lalu perempuan menyulam karena mempunyai harapan dan keyakinan yang
sangat tinggi sementara saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau
ekonomis,” katanya.
Perkembangan
bisnis tapis yang kemudian diaplikasikan ke berbagai bentuk kerajinan tangan
membuat gairah “menapis” kembali membuncah. Selembar kain berukuran 1,6 meter
kali 1,2 meter bisa menghasilkan berbagai kerajinan dengan tingkat perputran uang
yang cepat. “Itu sangat positif di samping mengancam nilai keluhuran filosofi
kain tapis itu sendiri. Bisnis boleh tapi tidak lantas menjadi murahan. Karya
seni harus tetap dijaga,” katanya.
Upaya
membangkitkan kembali industri tapis agar dikenal ke masyarakat luas seperti
manca negara juga dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Lampung. Setiap perhelatan
Festival Krakatau yang sudah berlangsung ke dua puluh tiga kali, aneka karya
seni kain tapis kerap dipamerkan. Di agenda mengenang letusan Gunung Krakatau
itu, tapis selalu menjadi bagian penting dengan digelarnya Tapis Carnival.
----------------------------
sumber:{http://malahayati.ac.id/?p=9981}
----------------------------
sumber:{http://malahayati.ac.id/?p=9981}
0 komentar:
Posting Komentar